WAYANG KLATENAN

Klathen, sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa, khususnya kesenian wayang purwa, memiliki sejarah yang panjang dalam dunia seni. Salah satu sumber sejarah, yaitu Serat Kaki Walaka, menyebutkan bahwa Klathen menjadi pusat seni pedalangan di masa lalu karena "sawab" dari Sunan Kalijaga yang mendidik kader-kader dalangnya di daerah ini pada saat berdakwah di Jawa Tengah bagian selatan.Oleh karena itu tak mengherankan bahwa Klaten menjadi gudangnya dalang. Dikisahkan pula dalam Babad Panjangmas, bahwa setelah kerajaan Mataram berpindah ibukota ke Kartasura, dalang keraton Kyai Panjangmas II diberi wilayah perdikan di daerah Pusur, Polanharjo, Klaten, tepatnya di utara Kali Pusur dan sekitarnya, dan kemudian dari situ menyebarlah keturunan beliau ke berbagai penjuru di Jawa Tengah, begitu pula keturunan murid-muridnya.

Wayang Klathenan terkenal karena mutu "wanda" dan "kapangan" atau anatomi dan proporsinya yang baik, juga "bedhahan" atau anatomi muka yang mengesankan. Dalam gaya Klatenan sendiri ada beberapa subgaya, seperti gaya Klathenan Prambanan yang condong ke gaya Yogyakarta, ada pula gaya Klathenan Jombor atau Martonegaran, juga gaya Klathenan minor seperti Manjungan dan lain sebagainya. Wayang gaya Jombor dianggap sebagian orang sebagai "rajanya" wayang Klaten, karena berpostur tinggi besar namun tetap pantas, proporsional. Menurut dugaan saya, dari asal katanya dapat ditebak bahwa wayang ini dibuat sejak masa pemerintahan Tumenggung Martonegoro, Bupati Klaten yang pertama.

Beberapa ciri endemik yang ada pada wayang Klathenan ialah:
1. Motif lung-lungan pada praba berbentuk "kawatan"
2. di dekat cambang atau godheg diberi tatahan "kembang tanjung"
3. Jari kaki belakang tidak ditatah
4. Tatahan lugu, wijang dan semu, sunggingan sederhana tapi semu
5. Kapangan ramping, singset tapi tidak kelihatan jangkung
6. Bedhahan biasanya jelas atau padhang
7. Motif bludiran biasanya besar-besar, kaku dan tanpa drenjeman

Komentar