Foto diambil di lingkungan Balai Kota Semarang pada saat acara Dugderan Semarang
Caping adalah sejenis topi berbentuk kerucut
yang umumnya terbuat dari anyaman bambu. Caping ada juga yang terbuat dari daun
pandan atau sejenis rumput, dan daun kelapa. Caping sebagai hasil kebudayaan
masyarakat Jawa mewarnai kehidupan orang Jawa sejak lama. Caping biasanya
dipakai oleh para petani untuk melindungi kepala dari terik sinar matahari dan
hujan. Selain itu, caping telah menginspirasi banyak seniman dan budayawan
untuk membuat karya. Penutup kepala jenis caping ini ternyata tidak hanya
ditemukan di Jawa saja, tetapi juga ditemukan di Cina, Korea, Jepang, Asia
Tenggara tetapi memiliki bentuk yang berbeda.
Di Cina daratan dan Taiwan, caping disebut dǒulì; di Jepang, disebut sugegasa; di Korea disebut satgat dan sebagian besar dipakai
oleh petani dan Budha biarawan; Di Filipina, disebut Salakot atau
saklat dipakai oleh petani dan bangsawan dibuat dengan perhiasan atau
terbuat dari kerang penyu dan penambahan tombak yang tajam di atas; di
Kamboja, topi caping disebut do'un; sedangkan di Vietnam disebut Non La.
Perlu kita ketahui bahwa, di Vietnam, derajat caping diangkat menjadi pakaian khas di sana. Di Vietnam, non la sendiri berarti topi daun atau topi kerucut. Bentuk non la Vietnam berupa kerucut dengan ukuran yang lebih langsing dari caping Indonesia. Bahan Non La adalah daun palm atau daun lontar. Pada jaman dahulu Non Lasebagai simbol kaum buruh, pedagang, dan petani di Vietnam.
Photo diambil dari laman: merdeka.com
Sekarang, caping Vietnam ini derajatnya berubah. Non La saat ini menjadi bagian dari kostum nasional Vietnam bahkan menjadi ikon wisata di negara ini. Non la terkenal karena hiasan
romantis, gambar tangan, kalimat indah berupa puisi Huế dikenal dengan non Bai Tho (
harfiah : topi kerucut puisi ). Para wisatawan yang datang ke Vietnam biasanya ditawari dan disuguhi caping sebagai oleh-oleh. Tidak menutup kemungkinan, para wisatawan mancanegara tersebut selalu membawa caping sebagai souvenir.
Sumber: Yeppopo
Keberadaan caping di Indonesia sampai saat ini belum seperti di Vietnam. Caping masih dianggap sebagai barang kuno, ketinggalan jaman. Masyarakat Jawa lebih suka menggunakan topi karena terlihat lebih keren, modern, dan gaul. Alasan-alasan klasik tersebut yang menjadi alasan utama tidak digunakannya caping sebagai penutup kepala, meskipun caping sebenaranya lebih safety dibanding topi.
Di Jawa, fungsi caping masih terbatas dipakai oleh para petani atau dipakai ketika ada pawai budaya seperti dugderan, acara MOPD sekolah maupun Universitas, dll.
Di Jawa, fungsi caping masih terbatas dipakai oleh para petani atau dipakai ketika ada pawai budaya seperti dugderan, acara MOPD sekolah maupun Universitas, dll.
Caping Jawa bila dibandingkan dengan caping dari Vietnam sebenarnya memiliki kualitas yang lebih bagus. Caping Jawa lebih kuat, lebih tebal, lebih dapat melindungi kepala dibanding caping Vietnam. Sayangnya, masyarakat kita belum melirik caping sebagai produk wisata, sebagai identitas wisata di Jawa.
Sumber:
Wikipedia
Komentar
Posting Komentar